Sabtu, 10 Desember 2011


Uretritis pada IMS(infeksi menular seksual)



I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pada waktu dahulu penyakit kelamin dikenal sebagai Venereal Diseases (V.D.) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta), dan yang termasuk dalam venereal diseases ini, yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum, dan granuloma inguinale. Oleh karena itu istilah V.D. makin lama makin ditinggalkan dan diperkenalkan istilah Sexually Transmitted Diseases (S.T.D.) yang berarti penyakit-penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan kelamin, dan yang termasuk penyakit ini adalah kelima penyakit V.D. tersebut ditambah berbagai penyakit lain yang tidak ter¬masuk V.D. Istilah S.T.D. ini telah diindonesiakan menjadi PMS (Penyakit Menular Seksual), ada pula yang menyebutnya PHS (Penyakit Hu¬bungan Seksual). Sehubungan PMS. ini sebagjan besar disebabkan oleh infeksi, maka kemudian istilah STD. telah diganti menjadi STI (sexually transmited infection). (Djaili, Sjaiful Fahmi, 1999)
Salah satu gejala yang dapat ditemui akibat PMS adalah urethritis. Uretritis adalah peradangan uretra oleh sebab apapun dan jauh lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Uretritis paling sering disebabkan oleh infeksi walaupun juga dapat ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap berbagai zat misalnya lateks dan losion. Urethritis dan disuria sering merupakan gejala sekunder pada pasien dengan infeksi HSV dan HPV. Uretritis infeksiosa diklasifikasikan sebagai uretritis gonokokus dan uretrtitis nongonokokus (UNG), bergantung pada organisme penyebaran. Urehitis gonokokus disebabkan oleh N. Gonorrhoe dan ditandai oleh disuria dan sekret mukopurulen. Berbagai organisme, terutama C. Trachomatis, Urea plasma urealyticum, Mycoplasma genitalium, dan T. vaginalis dapat menyebabkan UNG. Infeksi UNG kurang invasif dan gejalanya lebih ringan daripada uretritis gonokokus. Individu mungkin asimtomatik atau mengalami disuria ringan dan sekret. Semua pasien yang berisiko uretritis harus diperiksa untuk infeksi gonokokus dan klamidia dan mereka diberi terapi presumtif. Apabila gejala tidak hilang dengan pengobatan, maka harus dilakukan penelitian terhadap penyebab lain yang lebih jarang. (Sylvia A. Price, 2006)

B. Rumusan Masalah

• Bagaimanakah patofisiologi dan patogenesis gejala-gejala yang dialami oleh pasien?
• Apa sajakah Differential Diagnosis yang bersangkutan dengan skenario 1?
• Pemeriksaan apa sajakah yang diperlukan?
• Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien?
• Bagaimana penanganan dan penatalaksanaan yang tepat?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah, mahasiswa dapat:
• Untuk menjelaskan patofisiologi penyakit pada skenario 1.
• Untuk mengetahui cara-cara pemeriksaan pada pasien skenario 1.
• Untuk mengetahui penatalaksanaan dan penanganan secara preventif penyakit menular seksual.
D. Manfaat
• Sebagai langkah awal dari proses pembelajaran seorang dokter dalam mengetahui proses demi proses perjalanan penyakit dan mekanisme klinik yang ditimbulkan yang tercangkup dalam sistem urogenitale dalam bidang kedokteran.

II. Tinjauan Pustaka

GONORE
Gonore disebabkan oleh diplokokus gram-negatif, Neiserria gonorrhoeae. Organisme ini terutama menginfeksi uretra pada pria sehingga menyebabkan uretritis. Pada wanita, serviks merupakan tempat infeksi utama.(CDC,2006)
Infeksi juga terjadi pada tempat lain di traktus genitalia. Prostat, glandula vesikulosa dan epididimis lazim terserang pada pria, menyebabkan peradangan akut supuratif yang diikuti dengan fibrosis dan terkadang sterilitas. Uretra, kelenjar Bartholini dan Skene, serta tuba uterina lazim terserang pada wanita. Salpingitis menyebabkan fibrosis tuba uterina, yang menyebabkan infertilitas dan meningkatkan risiko kehamilan ektopik.Dengan bervariasinya praktik seksual dapat terjadi, faringitis gonokokus dan gonore anal; proktitis gonokokus seringkali terjadi pada pria homoseksual. (Djaili, Sjaiful Fahmi, 1999)
Masuknya gonokokus kedalam peritoneum pelvis pada wanita melalui tuba uterina dapat menyebabkan peritonitis. Masuknya gonokokus ke aliran darah dapat menyebabkan (1) bakteremia, dengan demam dan ruam kulit; (2) ekdokarditis gonokokus, yang cenderung menyerang katup sisi kanan dan kiri jantung; dan (3) artritis gonokokus, seringkali monoartikular, yang menyerang sendi-sendi besar, paling sering sendi lutut. Selain itu, infeksi gonokokus dapat ditularkan ke janin selama persalinan melalui saluran lahir, menimbulkan oftalmitis neonatas, akibat akhirnya sering kali adalah kebutaan. Menetaskan obat profilaktik larutan perak nitrat 1% ke dalam konjungtiva dapat mencegah komplikasi ini. (Chandrasoma, 2006)
Gambaran Klinik
Pada pria, manifestasi yang lazim adalah disuria dan sekret uretra purulen. Pada wanita, sevisitis dapat menimbulkan sekret vaginal. Gejala-gejala sistemik biasanya tidak ada. Alasan utama yang membuat penyakit ini sukar dikendalikan adalah kemungkinan asimtomatik gonore pada kedua jenis kelamin, yang menimbulkan sumber karier yang tampak sehat. Penyakit asimtomatik, jauh lebih sering dikalangan wanita. Identifikasi karier asimtomatik dengan melacak kontak-kontak seksual pasien simtomatik yang baru terinfeksi adalah penting. Risiko infeksi setelah satu kali hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi diperkirakan 20-30%.(CDC, 2006)
Diagnosis gonore ditegakkan melalui apusan langsung pada sekret uretra dan vagina. Pewanaan gram menunjukkan diplokokus gram-negatif baik ekstraselular maupun di dalan netrofil. Diagnosis tersebut harus dipastikan dengan biakan yang memerlukan media khusus dan lingkungan tinggi CO2. Biakan ini penting dilakukan karena spesies Neisseria selain gonokokkus mungkin terdapat komensal dalam vagina.(Chandrasoma, 2006)
Munculnya gonokokus galur resisten-antibiotik telah memperumit terapi dan pengendalian gonore. Dikenal tiga tipe gonokokus resisten anti biotik : (1) N. Gonorrhoeae penghasil penisilinase(PPNG), dengan resistensi yang disebabkan oleh gen β-laktamase. (2) N. Gonorroeae resisten tetrasiklin (TRNG) yang dibawa oleh plasmid. (3) N. Gonorrhoeae resisten yang diperantarai kromosom, yang resisten terhadap penisilin maupun tetrasiklin.(Katzung, 1996)
URETRITIS NONGONOKOKUS
Uretritis nongonokokus (NGU) merupakan epidemik di Amerika serikat, Di klinik komunitas penyakit menular seksual, NGU dan gonore memiliki insidensi yang sama, tetapi pada praktik pribadi dan klinik kesehatan universitas, NGU jauh lebih sering terjadi dibandingkan gonore sebagai penyebab uretritis pada kedua jenis penyakit.(Djaili, Sjaiful Fahmi, 1999)
Sekitar 40% kasus NGU disebabkan oleh Clamydia trachomatis tipe D-K. Clamydia trachomatis juga merupakan penyebab penting servisits purulen pada wanita dan infeksi anorektum pada homoseksual pria. Sindrom Reiter (uretritis, servisitis pada wanita, konjungtivits, artritis dan lesi mukokutan tipikal) terkait dengan infeksi klamidia lebih dari 70% kasus. Uji diagnostik klamidia dengan mengisolasi agen di dalam biakan jaringan atau dengan metode imunologik saat ini telah tersedia secara rutin. Pada beberapa kasus lainnya, NGU merupakan manifestasi atipikal herpes simpleks dan infeksi Trikomoniasis vaginalis. Pada lebih dari separuh kasus, tidak ditemukan penyebabnya. Pada kasus NGU dengan Clamydia-negatif ini, Ureaplasma erealiticum atau Mycoplasma genitalium merupakan penyebab yang paling mungkin. Metode diagnostik tidak secara rutin tersedia untuk agen-agen ini. Terapi tetrasiklin sangat efektif pada infeksi klamidia dan bentuk-bentuk NGU lainnya. (Chandrasoma, 2006)

III. Diskusi Permasalahan
Menurut diskusi kelompok tutorial dan sumber-sumber yang didapat, pasien pada skenario 1 ini menderita urethritis yang disertai discharge. Urethritis sendiri adalah peradangan pada uretra yang dapat diakibatkan oleh karena infeksi maupun alergi, lebih sering terjadi akibat infeksi. Urethritis infeksi diklasifikasi menjadi uretritis genokokus (UG) dan urethritis nongonokokus (UNG) yang dapat diakibatkan oleh HSV, HPV, C. Trachomatis, Urea plasma urealyticum, Mycoplasma genitalium, dan Trichomonas Vaginalis. Dari beberapa agen penyebab urethritis tersebut, yang dapat mengeluarkan discharge yang purulent adalah UG dan empat agen terakhir yang disebutkan pada UNG. Mengingat bahwa UNG biasanya memiliki gejala yang lebih ringan, pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, dan masa inkubasi yang lebih lama dugaan sementara penyakit yang diderita oleh pasien pada skenario 1 adalah UG. Tetapi,untuk memastikan penyebab penyakit pada pasien harus dilakukan pemeriksaan seperti pewarnaan gram, biakan, PCR, dan LCR. Pemeriksaan lebih diarahkan terhadap pemeriksaan UG terlebih dahulu, setelah itu diagnosis UNG dapat ditegakkan jika pemeriksaan UG negatif dan trichomoniasis negatif.
Keluarnya duh tubuh purulenta disebabkan oleh respon peradangan yang cepat disertai destruksi sel, khas dari urethra pada pria, pada gonore sekret mukopurulent dengan warna kuning-kehijauan, pada UNG duh tubuh seropurulen, sedang pada trichomoniasis berupa cairan mukoid ataupun mukopurulen.
Disuria disebabkan oleh kuman yang menembus ruang antar sel kemudian terjadi reaksi radang berupa infiltrasi leukosit polimorfonuklear dan mediator-mediator inflamasi lainnya seperti sitokin dan histamin. Mediator-mediator inflamasi tersebut akan merangsang rasa nyeri pada saraf. Selain itu keseimbangan ion ditempat adanya peradangan itu otomatis juga berubah ditambah eksudat yang terbentuk dapat menyumbat saluran atau kelenjar sehingga terjadi kista retensi dan abses yang menambah tekanan disana sehingga menimbulkan nyeri saat kencing.
Nyeri pada kelenjar limfonodi inguinal dextra et sinistra disebabkan karena bila terjadi infeksi di uretra, sebagai proses pertahanan pembuluh-pembuluh limfe akan mengirimkan aliran getah beningnya ke kelenjar-kelenjar inguinal superfisial medial, kadang-kadang ditampung oleh kelenjar-kelenjar illiaca eksterna. Anyaman pembuluh getah bening dalam ditampung oleh kelenjar-kelenjar inguinal dalam media.
Bila agen-agen peradangan yang terdapat pada limfonodi sampai ke darah melalui bulbus venosus vena jugularis interna maka akan terjadi demam sistemik, terutama IL-1 yang dapat merubah set poin pengaturan suhu di hipotalamus.
Untuk memberikan terapi sebaiknya ditegakkan dahulu diagnosis agen penyebab pada pasien dalam skenario 1 ini, atau dapat juga diberi antibiotik yang bersprektrum luas yang mendekati dugaan dan sesuai dosis.

IV. Kesimpulan
Pasien pada skenario menderita uretritis yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri neisseria gonorrhoe yang ditularkan secara seksual mengingat kebiasaan pasien yang sering berhubungan dengan WTS. Meskipun dugaaan sementara agen penyebab urethritis pada pasien adalah neisseria gonorrhoe tetapi tetap diperlukan pemeriksaan lain seperti yang telah dibahas di atas.

V. Saran
Untuk mencegah seseorang (terutama para remaja) dari PMS, informasi yang tepat harus diberikan sejak dini. Informasi yang diperlukan tersebut dapat diperoleh melalui klinik-klinik kesehatan, sekolah, rumah sakit swasta ataupun puskesmas. Jika seseorang telah mendapati gejala dari PMS, sebaiknya secepatnya memeriksakan diri ke dokter. Biasanya para dokter akan merahasiakan identitas pasiennya. Sesungguhnya ketakutan terhadap hal yang belum tentu kebenarannya akan membuat kondisi seseorang lebih parah. Dengan mengetahui dan memahami gejala PMS yang sebenarnya, penyembuhannya akan lebih mudah dilakukan.
Dengan semakin banyak mengetahui dan memahami akibat yang ditimbulkan dari aktivitas seksual yang tidak sehat, mahasiswa diharapkan dapat menjaga dirinya dari infeksi PMS. Selain itu, diharapkan akan muncul kesadaran bahwa apapun yang dilakukan pasti akan menimbulkan konsekuensi, baik positif maupun negatif, tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Membatasi diri terhadap pergaulan juga sesuatu yang harus dipertimbangkan. Mahasiswa seyogyanya memegang teguh ajaran agama dan norma yang telah tertanam dalam nuraninya dan masyarakat.

Daftar Pustaka

A.P,Sylvia & Lorraine. 2006. Patofisiologi I Edisi 6 Jakarta: EGC
Djuanda, Adhi. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Guyton,Artur C. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC
Sujudi, H. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
CDC. 2006. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines. http://www.cdc.gov/nchstp/dstd/stats_trends/stats_and_trends.htm
Chandrasoma, Parakroma. 2006. Patologi Anatomi. EGC : Jakarta.

Minggu, 22 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GGK

A. KONSEP DASAR

1.1 Pengertian

Gagal ginjal kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESKO / PETA) adalah penyimpangan progresif fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan metabolic, dan cairan dan elektolit mengalami kegagalan yang mengakibatkan uremia.

Gagal ginjal kronik meliputi keprogresifan kerusakan yang tidak dapat dihindari dan nephon di kedua ginjalnya penyakitnya berproses secara terus menerus sampai seluruh nepron rusak dan digantikan oleh jaringan perut yang sudah tidak berfungsi meskipun terdapat berbagai macam penyebab gagal ginjal kronis, hasil akhirnya adalah sebuah penyakit yang sistematis yang mencakup setiap organ tubuh.

1.2 Etiologi

GGK mungkin disebabkan oleh glomerula nefritis, kronis, plelonefristik, hipertensi tidak terkontrol, lesi herediter seperti pada penyakit polikistik kelainan faskular, obstruksi salurabn perkemihan, penyakit ginjal sekunder akibat penyakit sistemik (diabetes), infeksi, obat-obatan atau preparat toksit, preparat toksit. Preparat lingkungan dan akupasi yang telah menunjukkan mempunyai dampak dalam gagal ginjal kronis termasuk timah, kadnium, merkari, dan kromium.

1.3 Patofisiologi








1.4 Pemeriksaan Penunjang

Kreatinin dan plasma akan meningkat seiring dengan lajur frikenasi glomelorus. Dimulai bila lajur kurang dari 60ml/m pada gagal ginjal terminal plasma kurang dapat dipercaya karena dapat menurn pada diet rendah protein dan meningkat diet tinggi protein. Kekurangan garan dan keadaan katabolik, biasanya konsentrasi uream pada gagal ginjal terminal adalah 20-60 mino/lt. Terdapat penurunan plakarbonat plasma (15-25mmol/u) penurunan pit dan peningkatan urium Gap. Menurunkan akibat masukan cairan inakuat atau kelebihan hiperkalimua adalah tanda ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosis tubuler ginjal atau hiperaldo seronisme.

1.5 Manifestasi klinis

- Umum : fatiy malaibe, juga tubuh

- kulit :; pucat, mudah lecet, iguh, leukemea

- kepala dan leher : fakro urenik, lidh kering dan berselaput

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS GAGAL GINJAL KRONIK

DI RUANG BEDAH RS. BHAYANGKARA SURABAYA

AKADEMI KEPERAWATAN

STIKES-POLTEKES MAJAPAHIT

MOJOKERTO

2011

Rabu, 13 April 2011

I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999)

B. Etiologi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infeksi cacing tambang (antilostomiasis). Infeksi cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia.

C. Patofisiologi
Anemia terdiri dari :
- Penurunan produksi : Anemia defisiensi, anemia aplastik dll.
- Peningkatan penghancuran : anemia karena perdarahan, anemia hemolitik, dll.
Pembagian anemia :
- Anemia mikrositik hipokrom
* Anemia defisiensi besi
* Anemia penuakit kronik
- Anemia makrositik
* Defisiensi vitamin B12
* Defisiensi asam folat
- Anemia karena perdarahan
- Anemia hemolitik
- Anemia aplastik
(Arif Masjoer, Kapita Selekta, Jilid I edisi 2, Jakarta, 1999)

D. Tanda dan Gejala
Tanda : Takikardi / takipnea; dispnea pada bekerja / istirahat, letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya, kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
Ataksia, tubuh tidak tegak dan tanda-tanda lain yang menunjukkan keletihan.
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum kehilangan produktivitas, penurunan semangat untuk bekerja, toleransi terhadap latihan rendah, kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.

E. Penatalaksanaan
Tetapi terutama ditujukan pada penyakit dasarnya. Pada anemia yang mengancam nyama, dapat diberikan tranfusi darah merah (packed red sell) seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi, tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi anemia pada artitis reumatoroid, pemberian kobalt dan eritropoeitin di katakan dapat memperbaiki anemia.
(Arief Mansjoer,dkk, 2001)

II. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dengan pengumpulan data pasien baik subyektif atau objektif pada kasus anemia sehubungan dengan penurunan Hb adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi pasien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama,umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, gol darah, dan hubungan pasien dengan penanggung jawab dan lain-lain.
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umunya pasien pada kasus ini (anemia), terjadi penurunan hb atau kekurangan darah dalam batasan normal dan ditemukan pada perubahan fisik yang berupa lemah, letih, lesu, kurang tertarik pada aktifitas dan jantung berdebar-debar.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Pada riwayat kesehatan dahulu haruslah diketahui dengan baik tentang penyakitnya maupun penyakit sistemik lainnya.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Dalam riwayat kesehatan keluarga dapat diketahui apakah ada salah satu dari anggota keluarga yang mempunyai penyakit menular.
c. Pola-pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Dalam mengkaji pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat perlu menggali bagaimana caranya agar klien dapat mengungkapkan argumentasi mengenai apa yang ada dalam diri klien, misalnya : bagaimana tanggapan klien tentang dikaji dan cara menangani atau merencanakan agar hidup sehat yaitu mandi berapa kali, sikat gigi berapa kali dalam 1 hari.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Pola nutrisi yang perlu dikaji sesuai dengan kasus yang meliputi bagaimana kebutuhan nutrisi (gizi), bagaimana makannya, berapa banyak dan apa saja kombinasi makannya.
3. Pola eliminasi
Pola eliminasi yang perlu dikaji adalah pola bagaimana urine dan pola eliminasi diri.
4. Pola sensori dan kognitif
Meliputi : body image, self sistem, kekacauan identitas defersonilisasi dan bagaimana klien mengetahui tentang penyakitnya.
5. Pola hubungan dan peran
Pola hubungan dan persepsi perlu dikaji bagaimana hubungan klien terhadap keluarga, tetangga dll dan juga peraen klien terhadap keluarganya.
6. Pola persepsi diri dan konsep diri
Biasanya juga terjadi dampak psikologik klien bagaimana konsepdiri klien : Body image, ideal diri, harga diri,peran dan identitas apakah ada perubahan atau tidak.
7. Pola istirahat dan tidur
Dalam pola istirahat tidur pada klien anemia perlu dikaji apakah pemenuhan istirahatnya kurang, cukup atau lebih, dan pola istirahat memerlukan waktu kurang lebih 8-9 jam dalam waktu 1 hari.
8. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya dalam pola aktifitas dan latihan yang perlu di kaji apa kegiatan klien sehari-hari sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.
9. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya klien anak yang keberapa dari berapa bersaudara dan berjenis kelamin apa ada kelainan pada reproduksi atau tidak.
10. Pola penanggulangan stress
Adanya ketidak efektifan dalam mengatasi masalahindividu dan keluarga.



11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana klien dalam menjalankan agamanya sebelum dan setelah masuk rumah sakit, ada keparcayaan lain yang diyakini klien atau tidak.

d. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi sehubungan dengan kurang dari kebutuhan tubuh.
2. Kekurangan cairan sehubungan dengan resiko tinggi terhadap peningkatan kebutuhan cairan,proses implementasi.
3. Intoleransi efektifitas sehubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.

e. Intervensi
- Diagnosa 1 : Perubahan nutrisi sehubungan dengan kurang dari kebutuhan.
Tujuan
Kriteria Hasil :
: Nutrisi kembali normal dalam 1 x 24 jam.
- Berat badan pasien normal.
- Hb normal.
- Untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan sesuai.
Rencana tindakan
* Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai
R / Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
* Obsevasi dan catat masukan makanan klien.
R / mengawasi masukan kalori / kualitas kurang konsumsi makanan.
* Timbang BB
R / mengawasi penurunan (perubahan) BB / efektifitas intervensi nutrisi.
* Kolaborasi dengan ahli gizi.
R / membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.



- Diagnosa 2 : Kurangnya volume cairan.
Tujuan
Kriteria Hasil :
: Volume cairan kembali normal.
Untuk meningkatkan kebutuhan cairan dalam tubuh kembali normal.

Rencana tindakan :
* Anjurkan pasien untuk minum air putih  2 – 3 liter perhari.
R / Mengembalikan cairan dalamtubuh yang kurang.
* Monitor intake dan out put jumlah kalori, nutrisi, dan cairan tiaphari.
R / untuk mengetahui keseimbangan cairan,kalori dan nutrisi tiap harinya.

- Diagnosa 3 : Intoleransi efektifitas sehubungan dengan imobilisasi.
Tujuan
Kriteria Hasil :
: Klien dapat beraktivitas kembali dalam 1 x 24 jam.
- Klien dapat beraktivitas kembali.
- Klien menampakkan kemabali melakukan aktivitasnya
Rencana tindakan :
* Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, serta bantu melakukan aktivitas gerak.
R / Untuk mengetahui sejauh mana pasien dapat melakukan aktivitas.
* Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, catat peningkatan kelemahan, kelelahan dan perubahan tanda-tanda vital selama dan setelah beraktivitas.
R / Menetapkan kemampuan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.

f. Implementasi.
Implementasi yang dimaksud merupakan pengolahan dari perwujudan rencana tindakan yang meliputi kegitan yaitu : validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan, memberikan asuhan keperawatan dalam mengumpulkan data serta melaksanakan advis dokter dan ketentuan rumah sakit.
(Depkes RI, 1990 : 23, Liksidar , 1990)

g. Evaluasi
Evaluasi juga merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawtan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga kesehatan.
(Nasrul Effendi, 1995).



DAFTAR PUSTAKA


1. Arif Mansjoer. dkk, 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta, Media Aes Cv Laprus FKUI.
2. Marlyn E. Doenges, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC.
3. Nasrul Effendi,1995. Pengaturan Proses Keperawatan, Jakarta, EGC.
4. Sylfia A. Price, 1995. Patofisiologi, Jakarta, EGC.